Sabtu, 24 Agustus 2013

Berita Kelahiran Dari Antariksa

Bayi bisa bikin bete, misalnya di penerbangan yang lama atau di pagi buta, tapi mereka tidak berbahaya. Hal yang sama tidak bisa dikatakan untuk bayi bintang. Bintang-bintang muda sangatlah liar. Mereka menembakkan materi dengan kecepatan yang tak terbayangkan – semburan jet berkecepatan ribuan kilometer per jam. Ketika jet ini menumbuk gas dan debu kosmis di sekeliling bintang muda, terbentuklah gumpalan cemerlang yang dikenal sebagai objek Herbig-Hero. Objek ini hidup selama sekitar seribu tahun. Foto ini memperlihatkan objek Herbig-Hero secara lebih dekat. Perhatikan pancaran jet yang membentang di langit seperti pertunjukan kembang api raksasa. Rupanya bintang tidak malu-malu mengumumkan berita kelahirannya.
Foto close-up objek Herbig-Haro. Perhatikan pancaran jet yang membentang di langit seperti pertunjukan kembang api raksasa. Kredit: ESO/ALMA (ESO/NAOJ/NRAO)/H. Arce. Ucapan terima kasih kepada: Bo Reipurth 

Jet berwarna merah jambu dan ungu di sebelah kiri mengarah ke Bumi sedangkan yang lainnya ke arah yang berlawanan. Yang menjauhi kita ini nyaris tidak terlihat di foto-foto lainnya karena terhalangi awan debu kosmis. Foto baru dari teleskop ALMA ini akhirnya bisa memperlihatkan indahnya semburan kuning dan hijau. Foto ini juga menguak misteri lainnya: semburan-semburan itu rupanya lebih energetik daripada yang diduga para astronom. Semburan itu bahkan bergerak di ruang angkasa dengan kecepatan lebih dari sejuta kilometer per jam. Kalau kalian bisa bergerak secepat itu, kalian bisa pergi ke Bulan dalam waktu kurang dari 20 menit!
Fakta Menarik: Jet-jet tersebut tampak kecil bila dibandingkan dengan awan dingin dan gelap di sekelilingnya. Tapi, jet-jet itu sebetulnya ratusan kali lebih besar dari Tata Surya kita!

 sumber : http://langitselatan.com

Kamis, 17 Mei 2012

Cerita tentang Supermoon si Bulan Super


Bersamaan dengan dirilisnya The Avengers yang ceritanya tentang para superhero dunia Marvel. Di langit akan muncul superhero lainnya yang sepertinya seminggu ini jadi pertanyaan dan pembicaraan masyarakat. Supermoon aka si Bulan Super!
Superman atau Supermoon? kredit : Astropro
Kalau Bulannya jadi super apa bedanya dengan bulan yang kita lihat setiap saat? apa efeknya pada Bumi?
Jawabannya sih… tentu saja tidak ada yang perlu dikuatirkan. Supermoon akan Bulan Super ini bukan jagoannya Bulan dan tidak akan memberi efek apapun pada Bumi. Tidak akan ada bencana kok.
Lantas apa itu fenomena supermoon?
Istilah supermoon sebenarnya bukan istilah yang diberikan oleh para astronom. Istilah supermoon merupakan terminologi yang diberikan oleh para astrolog untuk fenomena ketika Bulan berada di fasa Purnama. Apa bedanya dengan fasa Purnama lainnya?
Kita tinjau yuk.
Supermoon terjadi ketika Bulan berada dalam fase purnama. Dan tidak hanya itu, Bulan Purnama tersebut haruslah bersamaan dengan posisi Bulan yang sedang berada pada jarak terdekat dengan Bumi atau sedang di titik perigee.
Bulan purnama merupakan fenomena yang terjadi setiap bulan. Dan tentunya dalam peredaran mengitari Bumi, Bulan akan selalui melalui titik perigee ketika ia berada paling dekat dengan Bumi (ingat bentuk lintasan itu ellips jadi ada saat ketika ia berada paling dekat dan paling jauh dari Bumi). Tapi, ketika Bulan berada di titik perigee, ia tidak berada di jarak yang tepat sama dari tahun ke tahun. Ada variasi posisi perigee yang dilalui Bulan di sepanjang tahun.
Ketika Bulan sedang purnama, ia tidak selalu sedang berada pada posisi perigee. Tapi setiap tahun, ada saat ketika Bulan Purnama bertepatan atau sangat dekat dengan posisi Bulan di perigee. Fenomena inilah yang dikenal sebagai fenomena supermoon di kalangan para astrolog (ingat astrolog dan bukan astronom!).
Perbandingan penampakan Bulan yang diambil dalam rentang 30 jam sebelum supermoon maret 2011. Kredit : Ramiz Qureshi, Karachi, Pakistan & Universe Today
Di tahun 2012, fenomena supermoon aka Bulan super ini terjadi di bulan Mei ketika Bulan sedang berada di titik terdekat dengan Bumi pada jarak 356953 kilometer. Yang menarik Bulan mencapai titik perigee pada tanggal 6 Mei jam 10.33 wib dan 2 menit kemudian bulan mencapai fase purnama.  Pada saat itu, bagi pengamat di Bumi yang terbiasa mengamati Bulan mereka akan mendapati Bulan tampak 14% lebih besar dan 30% lebih terang dibanding Bulan Purnama lainnya di tahun 2012.  Tapi bagi mereka yang tidak terbiasa mengamati Bulan, maka tidak akan tampak perbedaan apapun.
Bulan Purnama saat di perigee akan tampak lebih besar 14%. kredit: NASA
Posisi Bumi-Bulan-Matahari dan kaitannya dengan pasang surut. kredit : Boomeria.org
Mari kita sedikit berhitung dengan matematika. Ambil rata-rata jarak Bumi-Bulan 382900 km, sedangkan pada tanggal 6 Mei 2012, Bumi-Bulan berjarak 356953 km, atau ‘mendekat’ sejarak 25947 km, atau hanya 6,7% lebih dekat dibanding rata-rata. Dengan jarak cuma 6,7% lebih dekat, tentunya yang terjadi hanya fenomena alami yang memang terjadi setiap saat. Efek pasang surut yang terjadi juga tidak memberikan perbedaan yang signifikan. Bahkan meskipun Bulan Purnama terjadi saat berada di titik terdekat dengan Bumi pun, menurut studi geofisika tidak banyak ditemukan dampak signifikan pada keseimbangan energi Bumi.
Bulan purnama 5 Mei 2012. kredit : langitselatan
Kejadian menarik lainnya setelah bulan berada di posisi perigee pada tanggal 6 Mei, pada tanggal 19 Mei Bulan akan berada pada titik terjauhnya dari Matahari pada jarak 406500 km dan 2 hari kemudian pada tanggal 21 Mei jam 06.54 wib terjadi Gerhana Matahari Cincin.  Sang gerhana matahari cincin ini akan terjadi ketika Bulan berada pada sisi terjauhnya dan Matahari – Bulan – Bumi sejajar. Karena berada di titik terjauh, piringan Bulan akan “tampak” lebih kecil sehingga Matahari akan tampak seperti cicin api bagi para pengamat yang beruntung melihat fenomena ini.
Sayangnya, fenomena Gerhana Matahari Cincin 21 Mei tersebut tidak akan dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia.

Sabtu, 21 April 2012

Beberapa Faktor Astronomis-Meteorologis dalam Tenggelamnya Titanic


Inilah kapal yang menyandang hampir semua rekor pada masanya: terbesar (panjang 270 meter, lebar 30 meter dan tinggi 54 meter terhitung dari lunas hingga puncak cerobong asapnya ), terberat (44.000 ton) dan termewah (dibangun dengan bahan-bahan bermutu tinggi sehingga menelan biaya US $ 400 juta berdasarkan kurs 1997). Inilah RMS Titanic, yang digadang-gadang bakal menjadi pilihan utama dalam pelayaran trans-atlantik pada masa ketika dunia penerbangan baru menapaki bulan-bulan pertama kelahirannya.


RMS Titanic sekaligus menjadi puncak prestasi manusia dalam rekayasa teknik. Ia mengonsumsi 600 ton batubara per hari yang dibakar dalam 159 tungku guna mendidihkan air dalam 29 ketel menjadi uap bertekanan tinggi. Uap tersebut selanjutnya diinjeksikan ke dalam dua mesin uap empat silinder dan sebuah turbin uap tambahan dengan total daya 34,3 Megawatt termal atau setara dengan kebutuhan energi sebuah kota kecil masa kini. Ini membuatnya mampu melejit pada kecepatan puncak 41 km/jam. Uap yang telah terpakai masih bisa digunakan untuk menggerakkan generator yang memasok listrik ke segenap penjuru. Sehingga RMS Titanic bisa diterangi lampu listrik dan dilengkapi sistem komunikasi radio nirkabel Marconi, kemewahan lain yang tak dimiliki kapal-kapal pada masa itu. Yang lebih hebat lagi, kapal ini terdiri dari 16 kompartemen terpisah yang setiap kompartemennya dapat diisolasi dengan pintu kedap air. Sehingga andaikata terjadi situasi terburuk, yakni tabrakan antar kapal atau kapal menghantam sesuatu, RMS Titanic bakal tetap terapung meski empat kompartemennya telah dibanjiri air laut. Inilah yang memunculkan keyakinan RMS Titanic tak bakal bisa tenggelam.
RMS Titanic saat bersinggungan dengan gunung es, menurut simulasi James cameron dkk berdasarkan data Woods Hole Oceanographic Institute dan RMS Titanic Inc. Sumber : National Geographic, 2012.
RMS Titanic saat bersinggungan dengan gunung es, menurut simulasi James Cameron dkk berdasarkan data Woods Hole Oceanographic Institute dan RMS Titanic Inc. Sumber : National Geographic, 2012.
Namun faktanya RMS Titanic justru tenggelam dalam waktu cepat pada dinihari 15 April 1912 (waktu Inggris) saat sedang dalam pelayaran perdananya dari Southampton (Inggris) menuju New York (AS). RMS Titanic terbenam tak lebih dari tiga jam setelah ia bersenggolan dengan gunung es besar di Samudera Atlantik bagian utara. Kisruhnya proses evakuasi menyebabkan 1.517 orang tewas dari total 2.227 orang yang ada di dalam. Dari jumlah tersebut pun hanya 700-an jenazah yang berhasil ditemukan terapung-apung di permukaan samudera Atlantik yang membekukan. Sisanya turut terseret bersama bangkai kapal ke kedalaman 3,7 km.
Mengapa RMS Titanic bisa bersinggungan dengan gunung es? Analisis terkini memperlihatkan ada sejumlah kombinasi faktor astronomis dan meteorologis yang kemungkinan memberikan kontribusi bagi terjadinya tragedi ini.
Faktor pertama, RMS Titanic berlayar pada waktu yang kurang tepat. Sudah menjadi pengetahuan umum masa itu bahwasanya alur pelayaran yang bakal dilintasi RMS Titanic berpotongan dengan pergerakan gunung-gunung es dari utara. Gunung-gunung es tersebut berasal dari lembaran-lembaran gletser Greenland yang terpecah-belah saat memasuki laut dan selanjutnya dihanyutkan ke selatan oleh arus Labrador yang dingin. 90 % gunung-gunung es ini meleleh saat masih berada di sekitar Greenland. Namun sisanya, khususnya yang berukuran besar mampu bertahan hingga terhanyut ke Samudera Atlantik, dalam jumlah 150 hingga 300 buah gunung es per tahun. Yang tidak disadari kapten Edward Smith dan petugas-petugas RMS Titanic lainnya, tahun 1912 adalah tahun tak biasa. Sehingga sepanjang bulan April 1912 saja jumlah gunung es yang terhanyut ke sisi selatan garis lintang 48 LU mencapai 395 buah. Populasi ini nyaris empat kali lipat lebih tinggi dibanding jumlah rata-rata gunung es di bulan April sepanjang kurun waktu 1901-1910. Sehingga Samudera Atlantik bagian utara lebih penuh dengan es dibanding kondisi normalnya. Rekor jumlah gunung es April 1912 tak tertandingi hingga enam dekade kemudian, tepatnya pada April 1970, saat jumlah gunung es mencapai angka 501 buah.
Kawasan Atlantik Utara dalam proyeksi Mercator. Gunung-gunung es dari gletser Greenland Barat dihanyutkan arus Labrador (panah hitam) menuju perairan Atlantik utara. Sumber : Sudibyo, 2012 dengan peta dari Google Maps.
Kawasan Atlantik Utara dalam proyeksi Mercator. Gunung-gunung es dari gletser Greenland Barat dihanyutkan arus Labrador (panah hitam) menuju perairan Atlantik utara. Sumber : Sudibyo, 2012 dengan peta dari Google Maps.
Faktor kedua, RMS Titanic berlayar tanpa penerangan Bulan. Konjungsi Bulan-Matahari terjadi pada 17 April 1912 pukul 11:40 UT atau hanya dua hari berselang setelah tragedi Titanic. Maka sepanjang pelayarannya RMS Titanic tidak diterangi sinar Bulan di malam harinya. Meskipun RMS Titanic memiliki lampu-lampu listrik terbaru, namun tidak cukup kuat untuk menerangi alur laut yang dilintasinya hingga jarak jauh. Kondisi ini cukup riskan, terlebih dalam situasi berlebihnya populasi gunung es di Samudera Atlantik, sementara di sisi lain kapal dipacu hingga hampir mencapai kecepatan puncaknya.
Faktor ketiga, saat memasuki perairan Grand Banks, RMS Titanic tanpa disadari mulai memasuki kawasan padang barometrik bertekanan tinggi Arktika. Udara dalam kawasan ini lebih dingin dibanding sekitarnya. Penurunan suhu udara yang cukup cepat pun terjadi. Hal ini juga disadari oleh sebagian kecil awak kapal, yang mencatat anjloknya suhu hingga 4 derajat Celcius lebih rendah hanya dalam waktu setengah jam. Padang barometrik ini sepintas menguntungkan, karena menjadikan laut tampak tenang tanpa sentakan gelombang sementara langit pun cerah tanpa awan. Namun di sisi lain situasi ini mengurangi kemampuan pemantauan lingkungan laut di sekitar RMS Titanic dan disepanjang alur pelayarannya. Sebab dalam kondisi langit amat cerah, bintang-bintang nampak dengan amat jelas. Permukaan laut yang tenang pun memantulkan cahaya bintang-bintang ini. Sehingga kemanapun petugas pemantau gunung es RMS Titanic memandang, ia hanya melihat tebaran bintik-bintik cahaya sehingga amat sulit baginya untuk mengidentifikasi obyek selain bintang. Apalagi di langit bagian barat bertebaran sejumlah bintang terang dan planet Venus.
Simulasi langit malam di titik tragedi titanic pada saat persinggungan dengan gunung es terjadi. Sumber: Sudibyo, 2012 dengan basis Sky View Cafe.
Simulasi langit malam di titik tragedi titanic pada saat persinggungan dengan gunung es terjadi. Sumber: Sudibyo, 2012 dengan basis Sky View Cafe.
Dan Faktor keempat adalah fatamorgana. Kombinasi padang barometrik bertekanan tinggi dan kumpulan gunung-gunung es pada area datar yang luas menjadikan lapisan udara di dekat permukaan laut lebih dingin dibanding lapisan udara diatasnya. Fenomena ini disebut inversi suhu. Dalam kondisi normal suhu udara di dekat permukaan laut lebih tinggi dibanding lapisan-lapisan diatasnya. Inversi suhu menyebabkan berkas cahaya dari jauh dibiaskan demikian rupa sehingga terpantulkan saat berada di lapisan inversi dan menghasilkan bayangan semu dari obyek yang memancarkan cahaya tersebut. Fatamorgana menyebabkan horizon tak teramati dan demikian pula eksistensi obyek-obyek di horizon. Tanpa diketahui oleh kapten Smith saat itu, kawasan yang berdekatan dengan lingkar kutub lebih kerap mengalami fatamorgana dibandingkan kawasan subtropik maupun tropik. Dan fatamorgana di kawasan dekat lingkar kutub selalu terjadi pada saat udara dingin.
Faktor-faktor inilah, beserta sejumlah faktor non astronomis dan meteorologis lainnya, yang menuntun RMS Titanic berhadapan dengan takdir sejarah. Tatkala kapal-kapal lainnya yang sealur sibuk melaporkan keberadaan gunung-gunung es dan melintas perlahan-lahan (misalnya kapal Caronia, Athinai, Amerika, Mesaba) dan bahkan harus terhenti (seperti kapal California) karena berhadapan langsung dengan gunung es besar, RMS Titanic tetap ngebut dengan kecepatan tinggi. Maka New York tak dapat dicapai, malangpun tak bisa ditolak. Tanpa disadari siapapun yang berada di dalam RMS Titanic, sebuah gunung es besar dengan tinggi sekitar 30 meter telah menghadang. Dengan 87 % tubuhnya terbenam di bawah air laut, gunung es ini menyembunyikan ukurannya yang raksasa, yang jauh lebih besar dibanding RMS Titanic. Dalam kondisi pencahayaan mencukupi, dengan resolusi mata manusia sebesar 1-2 menit busur, gunung es tersebut seharusnya sudah terdeteksi pada jarak 25 hingga 50 km. Namun takdir menentukan petugas pengintai Frederick Fleet baru melihatnya pada 14 April 1912 pukul 23:39 GMT, dalam jarak hanya 280 meter. Meski jurumudi RMS Titanic membanting ketir ke kiri sekuatnya sementara juru mesin mencoba membalik arah putaran mesin uapnya dengan harapan kecepatan bisa direm, RMS Titanic tetap bersinggungan dengan gunung es dalam 28 detik kemudian. Dan tragedi pun dimulai.
sumber:

Jumat, 30 Maret 2012


Apakah itu Burung? atau Pesawat? Bukan, itu Planet Bumi Super!

Waktu kamu melihat ke langit, semua bintang akan tampak sama. Padahal, mereka sebenarnya memiliki ukuran dan warna yang berbeda.  Warna bintang bisa berbeda karena dipengaruhi temperatur permukaan bintang itu sendiri. Terlepas dari apa yang ada di pikiranmu, bintang biru jauh lebih panas dari bintang merah! Pada kenyataannya, bintang merah adalah bintang yang paling dingin! Bintang merah terkecil, yang dikenal sebagai “katai merah”, sampai saat ini merupakan tipe bintang yang umum ditemukan di Galaksi Bima Sakti.
Ilustrasi kehidupan asing di planet Bumi Super. Kredit : ESO/L. Calçada
Baru-baru ini, tim astronom yang mengamat langit menggunakan teleskop besar, menemukan planet batuan yang tidak lebih besar dari Bumi ternyata umum ditemukan di bintang katai merah. Planet seperti ini yang ukurannya hanya sedikit lebih besar dari Bumi kita sebuat sebagai “Bumi Super”.
Para astronom memperkirakan 4 dari 10 bintang katai merah di galaksi Bima Sakti memiliki planet Bumi Super yang mengitari mereka pada jarak yang pas dari bintang sehingga planet Bumi Super itu bisa memiliki air dalam wujud cair. (Kalau letak planet terlalu dekat dengan bintang, air akan mendidih dan menguap, tapi air akan membeku kalau planetnya berada terlalu jauh dari bintang induknya)
Karena di Bima Sakti terdapat sekitar 160 miliar bintang katai merah, diperkirakan ada puluhan miliar planet yang ukurannya mirip Bumi di galaksi Bima Sakti yang memiliki lautan. Penemuan ini sangat menarik, karena planet seperti itu bisa saja memiliki kehidupan asing di dalamnya!
Fakta menarik : Ukuran Matahari kira-kira 100 kali lebih besar dari Bumi, tapi di kalangan bintang-bintang, Matahari hanyalah sebuah bintang katai dibanding bintang lainnya – tepatnya, sebuah bintang katai kuning.
sumber:http://langitselatan.com/

Jumat, 16 Maret 2012


Batu yang Bertebaran di Angkasa


Saat Tata Surya terbentuk, ada banyak sekali potongan yang tersisa yang kemudian kita kenal sebagai asteroid dan komet.
Batuan di angkasa. Kredit :NASA/CXC/M.Weiss
Asteroid merupakan gumpalan batuan yang sebagian besarnya berada di area yang disebut sebagai Sabuk Asteroid. Sabuk ini berada di antara planet Mars dan Jupiter. Sedangkan komet, merupakan gumpalan es, batuan dan debu yang kadang disebut juga “bola salju kotor”. Sebagian besar komet berada di area terluar Tata Surya, yang berada jauh dari Matahari. Letaknya juga lebih jauh dari planet Uranus dan Neptunus di wilayah yang disebut Awan Oort.
Akan tetapi, tidak semua asteroid dan komet perilakunya baik dan tetap tinggal di areanya. Kadang, komet juga berkunjung ke bagian dalam Tata Surya. Komet akan tampak menarik untuk diamati saat mereka mendekati Bumi. Pada saat itu, sebagian esnya akan menguap karena terkena panas Matahari, sehingga menciptakan ekor nan indah saat ia melintasi langit malam.
Asteroid juga sesekali melintas dan berpapasan dengan Bumi. Potongan kecil asteroid yang memasuki atmosfer Bumi kita kenal dengan nama meteorit. Ketika mereka melintas melalui atmosfer, meteorit akan terbakar sehingga tampak bersinar di malam hari dan disebut sebagai bintang jatuh. Astronom memperkirakan hal yang sama juga terjadi pada asteroid yang berada di area pusat galaksi Bima Sakti.
Di pusat sebagian besar galaksi, ada obyek yang dikenal dengan nama lubang hitam super masif. Apapun yang dekat dengan lubang hitam supermasif akan ditarik dengan kekuatan yang sangat kuat sehingga tidak bisa lepas. Bahkan cahaya pun tak bisa lepas.
Lubang hitam supermasif yang ada di pusat galaksi Bima Sakti dikenal dengan nama Sagittarius A*. Selama beberapa tahun, astronom sudah menyadari keberadaan flare sinar-X misterius yang datang dari Sagittarius A*. Saat ini para astronom memperkirakan kalau cahaya flare tersebut terjadi karena Sagittarius A* melahap asteroid, seperti halnya lintasan cepat cahaya yag kita lihat di langit malam saat meteorit terbakar.
Jika teori ini benar, maka tentu ada ratusan bahkan triliunan asteroid dan komet di sekitar Sagittarius A*!
Fakta menarik : Tidak hanya lubang hitam super masif saja yang harus diwaspadai asteroid dan komet. Setiap 3 hari sekali, ada saja komet yang hancur saat terbang melintas atmosfer Matahari yang panas!

Hanya yang Terbesar yang Selamat


Galaksi kita, Bimasakti, dikelilingi oleh sekitar 200 kelompok-kelompok beranggotakan banyak sekali bintang, yang disebut gugus bola. Gugus-gugus bola itu hampir setua alam semesta dan memegang petunjuk berharga bagaimana bintang-bintang dan galaksi-galaksi perdana terbentuk.
Gugus Bola M80 di rasi Scorpius. Kredit : HST/NASA/ESA
Para astronom selama ini mengira jumlah gugus bola bertambah selama proses pembentukan bintang secara gila-gilaan (starburst) saat alam semesta masih muda. Namun, dengan menggunakan simulasi komputer, sebuah grup astronom menemukan bahwa starburst sebenarnya malah menghancurkan gugus-gugus bola tadi alih-alih membantu pembentukannya.
Starburst seringkali terjadi akibat oleh tabrakan dua galaksi. Selama starburst itu, gas, debu, dan bintang-bintang masih terus bergerak ke sana kemari akibat tabrakan galaksi. Akibatnya, tarikan gravitasi dalam gugus bola terus berubah. Ini bisa mengoyakkan sebagian besar gugus bola dan hanya gugus yang paling besarlah yang selamat.
Para astronom berpendapat ini menjelaskan mengapa jumlah bintang anggota gugus bola kurang lebih sama di seluruh alam semesta. “Ketika alam semesta masih muda, starburst ada di mana-mana – jadi, masuk akal kalau gugus-gugus bola mempunyai bintang yang kurang lebih sama banyaknya. Saudara-sadaura mereka yang tidak memiliki anggota bintang sebanyak mereka akan binasa,” astronom
Diederik Kruijssen menjelaskan.
Fakta Menarik : Gugus-gugus bola di sekitar Bimasakti yang selamat dari starburst masing-masing beranggotakan sejuta bintang!