Jumat, 30 Maret 2012


Apakah itu Burung? atau Pesawat? Bukan, itu Planet Bumi Super!

Waktu kamu melihat ke langit, semua bintang akan tampak sama. Padahal, mereka sebenarnya memiliki ukuran dan warna yang berbeda.  Warna bintang bisa berbeda karena dipengaruhi temperatur permukaan bintang itu sendiri. Terlepas dari apa yang ada di pikiranmu, bintang biru jauh lebih panas dari bintang merah! Pada kenyataannya, bintang merah adalah bintang yang paling dingin! Bintang merah terkecil, yang dikenal sebagai “katai merah”, sampai saat ini merupakan tipe bintang yang umum ditemukan di Galaksi Bima Sakti.
Ilustrasi kehidupan asing di planet Bumi Super. Kredit : ESO/L. Calçada
Baru-baru ini, tim astronom yang mengamat langit menggunakan teleskop besar, menemukan planet batuan yang tidak lebih besar dari Bumi ternyata umum ditemukan di bintang katai merah. Planet seperti ini yang ukurannya hanya sedikit lebih besar dari Bumi kita sebuat sebagai “Bumi Super”.
Para astronom memperkirakan 4 dari 10 bintang katai merah di galaksi Bima Sakti memiliki planet Bumi Super yang mengitari mereka pada jarak yang pas dari bintang sehingga planet Bumi Super itu bisa memiliki air dalam wujud cair. (Kalau letak planet terlalu dekat dengan bintang, air akan mendidih dan menguap, tapi air akan membeku kalau planetnya berada terlalu jauh dari bintang induknya)
Karena di Bima Sakti terdapat sekitar 160 miliar bintang katai merah, diperkirakan ada puluhan miliar planet yang ukurannya mirip Bumi di galaksi Bima Sakti yang memiliki lautan. Penemuan ini sangat menarik, karena planet seperti itu bisa saja memiliki kehidupan asing di dalamnya!
Fakta menarik : Ukuran Matahari kira-kira 100 kali lebih besar dari Bumi, tapi di kalangan bintang-bintang, Matahari hanyalah sebuah bintang katai dibanding bintang lainnya – tepatnya, sebuah bintang katai kuning.
sumber:http://langitselatan.com/

Jumat, 16 Maret 2012


Batu yang Bertebaran di Angkasa


Saat Tata Surya terbentuk, ada banyak sekali potongan yang tersisa yang kemudian kita kenal sebagai asteroid dan komet.
Batuan di angkasa. Kredit :NASA/CXC/M.Weiss
Asteroid merupakan gumpalan batuan yang sebagian besarnya berada di area yang disebut sebagai Sabuk Asteroid. Sabuk ini berada di antara planet Mars dan Jupiter. Sedangkan komet, merupakan gumpalan es, batuan dan debu yang kadang disebut juga “bola salju kotor”. Sebagian besar komet berada di area terluar Tata Surya, yang berada jauh dari Matahari. Letaknya juga lebih jauh dari planet Uranus dan Neptunus di wilayah yang disebut Awan Oort.
Akan tetapi, tidak semua asteroid dan komet perilakunya baik dan tetap tinggal di areanya. Kadang, komet juga berkunjung ke bagian dalam Tata Surya. Komet akan tampak menarik untuk diamati saat mereka mendekati Bumi. Pada saat itu, sebagian esnya akan menguap karena terkena panas Matahari, sehingga menciptakan ekor nan indah saat ia melintasi langit malam.
Asteroid juga sesekali melintas dan berpapasan dengan Bumi. Potongan kecil asteroid yang memasuki atmosfer Bumi kita kenal dengan nama meteorit. Ketika mereka melintas melalui atmosfer, meteorit akan terbakar sehingga tampak bersinar di malam hari dan disebut sebagai bintang jatuh. Astronom memperkirakan hal yang sama juga terjadi pada asteroid yang berada di area pusat galaksi Bima Sakti.
Di pusat sebagian besar galaksi, ada obyek yang dikenal dengan nama lubang hitam super masif. Apapun yang dekat dengan lubang hitam supermasif akan ditarik dengan kekuatan yang sangat kuat sehingga tidak bisa lepas. Bahkan cahaya pun tak bisa lepas.
Lubang hitam supermasif yang ada di pusat galaksi Bima Sakti dikenal dengan nama Sagittarius A*. Selama beberapa tahun, astronom sudah menyadari keberadaan flare sinar-X misterius yang datang dari Sagittarius A*. Saat ini para astronom memperkirakan kalau cahaya flare tersebut terjadi karena Sagittarius A* melahap asteroid, seperti halnya lintasan cepat cahaya yag kita lihat di langit malam saat meteorit terbakar.
Jika teori ini benar, maka tentu ada ratusan bahkan triliunan asteroid dan komet di sekitar Sagittarius A*!
Fakta menarik : Tidak hanya lubang hitam super masif saja yang harus diwaspadai asteroid dan komet. Setiap 3 hari sekali, ada saja komet yang hancur saat terbang melintas atmosfer Matahari yang panas!

Hanya yang Terbesar yang Selamat


Galaksi kita, Bimasakti, dikelilingi oleh sekitar 200 kelompok-kelompok beranggotakan banyak sekali bintang, yang disebut gugus bola. Gugus-gugus bola itu hampir setua alam semesta dan memegang petunjuk berharga bagaimana bintang-bintang dan galaksi-galaksi perdana terbentuk.
Gugus Bola M80 di rasi Scorpius. Kredit : HST/NASA/ESA
Para astronom selama ini mengira jumlah gugus bola bertambah selama proses pembentukan bintang secara gila-gilaan (starburst) saat alam semesta masih muda. Namun, dengan menggunakan simulasi komputer, sebuah grup astronom menemukan bahwa starburst sebenarnya malah menghancurkan gugus-gugus bola tadi alih-alih membantu pembentukannya.
Starburst seringkali terjadi akibat oleh tabrakan dua galaksi. Selama starburst itu, gas, debu, dan bintang-bintang masih terus bergerak ke sana kemari akibat tabrakan galaksi. Akibatnya, tarikan gravitasi dalam gugus bola terus berubah. Ini bisa mengoyakkan sebagian besar gugus bola dan hanya gugus yang paling besarlah yang selamat.
Para astronom berpendapat ini menjelaskan mengapa jumlah bintang anggota gugus bola kurang lebih sama di seluruh alam semesta. “Ketika alam semesta masih muda, starburst ada di mana-mana – jadi, masuk akal kalau gugus-gugus bola mempunyai bintang yang kurang lebih sama banyaknya. Saudara-sadaura mereka yang tidak memiliki anggota bintang sebanyak mereka akan binasa,” astronom
Diederik Kruijssen menjelaskan.
Fakta Menarik : Gugus-gugus bola di sekitar Bimasakti yang selamat dari starburst masing-masing beranggotakan sejuta bintang!

Kamis, 15 Maret 2012

UFO Haiti


Astronom Menemukan Kehidupan di… Bumi?!


Pada foto, Bulan tampak seperti sedang sabit dan purnama di saat yang sama! Itu karena ada cahaya Matahari yang terpantul dari permukaan Bumi dan menyinari sisi Bulan yang tidak berhadapan dengan Matahari. Inilah yang disebut cahaya Bumi. Baru-baru ini, para astronom menggunakan cahaya Bumi untuk membantu mencari alien atau makhluk asing.
Cahaya Bumi menyebabkan Bulan tampak sabit dan purnama di saat bersamaan. Kredit : X-ray: NASA's Chandra X-ray Observatory/ESA's XMM-Newton; Optical: Cerro Tololo Inter-American Observatory
Tanda-tanda kehidupan bisa ditemukan dalam sejumlah gas tertentu di atmosfer planet seperti oksigen, ozon, metana dan karbon dioksida. Dan para astronom dapat mengetahui gas apa saja yang ada di atmosfer planet dengan mempelajari cahaya yang dipantulkan oleh si planet – cahaya Planet tersebut.
Tapi, sinar planet ini sangat redup dan tenggelam dalam terangnya cahaya bintang, sehingga sulit untuk diamati.  Namun ketika cahaya bintang dipantulkan oleh planet, sesuatu terjadi pada cahaya itu dan mengubah beberapa sifatnya. Bagi para astronom cahaya yang berubah tersebut “terpolarisasi”.  Karena itu, dengan mengamati secara khusus cahaya yang terpolarisasi itu, astronom dapat memilah cahaya redup dari planet.
Para astronom pun mencobanya dengan mempelajari cahaya Bumi. Hasilnya, mereka bisa mengetahui kalau sebagian atmosfer Bumi merupakan awan dan di permukaannya terdapat lautan dan tumbuhan. Artinya, para astronom menemukan kehidupan di Bumi! Mungkin hal ini terdengar bodoh, tapi metode baru tersebut bisa diterapkan untuk mencari kehidupan di planet lain di alam semesta!
Fakta menarik : Awan di Bumi memantulkan lebih banyak cahaya Matahari daripada lautan dan daratan. Artinya, cahaya Bumi akan lebih terang jika sedang berawan.

Galaksi Remaja yang Rakus


Selama beberapa waktu astronom sudah tahu kalau galaksi-galaksi itu ukurannya jauh lebih kecil ketika Alam Semesta masih muda. Di sepanjang masa Alam Semesta, galaksi-galaksi terus bertambah berat, tapi pola makan dan juga apa yang mereka makan masih misteri.
Galaksi-galaksi jauh yang diamati dirasi Cetus yang saat remaja melahap galaksi lebih kecil. Kredit : ESO/CFHT
Saat ini, ada tim astronom yang memata-matai galaksi saat mereka sedang makan malam. Caranya, galaksi-galaksi ini dilihat dengan menggunakan teropong bernama Very Large Telescope. Hasilnya adalah foto di atas yang menunjukkan beberapa galaksi ( tanda silang merah) yang sedang diamati para astronom.
Very Large Telescope adalah sebuah teleskop yang hebat yang bisa melihat ke masa lalu, masa ketika galaksi-galaksi itu masih remaja. Melihat kembali ke masa lalu, terdengar seperti cerita fiksi sains bukan? Padahal sebetulnya idenya sangat sederhana: Cahaya dari galaksi yang sangat jauh membutuhkan waktu miliaran tahun untuk bisa tiba di Bumi. Karena itu, apa yang dilihat para pengamat adalah galaksi-galaksi itu ketika berumur miliaran tahun lalu ! (Untuk informasi lebih lanjut, klik disini.)
Dari hasil pengamatan, para astronom menemukan kalau galaksi ketika baru memasuki usia remaja sangat suka memakan gas. Tapi, galaksi di akhir masa remaja lebih suka makanan yang lebih besar dan mereka melahap galaksi yang lebih kecil.  Pada umumnya, galaksi-galaksi akan semakin rakus ketika usianya bertambah dan bahkan mereka berubah menjadi kanibal atau pemakan sesama!
Fakta Menarik: Galaksi yang diamati ini memiliki nafsu makan yang luar biasa besar seperti monster. Ia ditemukan di langit malam di Rasi bintang “Cetus” yang artinya “Monster Langit”!

Kamis, 08 Maret 2012


Tamu Tak Diundang Tertangkap Kamera!


Ilmuwan telah meluncurkan wahana-wahana ruang angkasa untuk meneliti obyek-obyek di Tata Surya. Hingga saat ini, baru satu wahana yang sudah menempuh bagian tepi Tata Surya. Wahana ini bernama Voyager 1. Voyager 1 membutuhkan waktu 30 tahun untuk melakukan perlawatan yang luar biasa ini. Jadi, bisa kalian bayangkan bagaimana para astronom akan senang sekali bila objek dari Tata Surya bagian luar datang sendiri mengunjungi Bumi, alih-alih ia harus menunggu puluhan tahun untuk mendapatkan informasi dari wahana ruang angkasa yang dikirim ke sana.
Komet lovejoy yang tampak di langit malam Chille. Kredit : G. Blanchard(eso.org/~gblancha)/ESO
Foto ini menunjukkan objek bernama Komet Lovejoy, yang tampak di langit malam bulan Desember lalu. Komet tersusun dari es, debu, dan batuan sehingga kadang-kadang komet disebut juga bola salju kotor. Komet berasal dari daerah Tata Surya bagian luar, tapi bergerak mengelilingi Matahari seperti halnya planet-planet. Artinya, adakalanya komet mendekati Bumi dan kita pun bisa melihatnya di malam hari.
Saat komet mendekati Matahari, sebagian esnya menguap sehingga menciptakan ekor yang menawan. Astronom menyangka panasnya Matahari akan menghancurkan Komet Lovejoy selama kunjungannya ini. Akan tetapi, secara mengejutkan, komet itu tidak hancur.
Astronom Gabriel Brammer merekam Komet Lovejoy dalam video fantastis  berikut. Saat itu Gabriel tengah menyelesaikan tugas malamnya di observatorium jauh di tengah gurun di Chili, Amerika Latin, ketika Komet Lovejoy muncul sesaat sebelum fajar. Betapa pemandangan yang indah dilihat sesudah bergadang!
Astronot di Stasiun Ruang Angkasa Internasional ISS juga memfilmkan Komet Lovejoy. Kalian bisa melihat bagaimana komet itu tampak dari ruang angkasa di sini.
Fakta menarik : Bahkan jika Komet Lovejoy tidak hancur saat mendekati Matahari lagi, komet ini baru bisa dilihat di langit malam 314 tahun lagi!

Saudara Kembar Bumi Bisa Sangat Berbeda!


Bagaimana mengetahui komposisi exoplanet? Planet yang bahkan tidak tampak dengan mata telanjang dari Bumi ini tentu menyimpan banyak cerita. Sama seperti penemuannya yang menggunakan berbagai teknik tidak langsung, tentunya kita tidak bisa melihat sendiri dan menentukan apa yang ada di exoplanet.
Salah satu cara untuk mengetahui komposisi exoplanet adalah dengan mempelajari kelimpahan elemen di bintang sehingga para peneliti bisa mengetahui kalau sistem keplanetan juga memiliki komposisi yang beragam yang berbeda dengan Tata Surya. Yang pada akhirnya akan mempengaruhi proses plat tektonik di planet yang mengitari bintang-bintang tersebut.
Menelesuri Komposisi Planet
Perbandingan Bumi dan 55 Cancri. Keduanya dperkirakan memiliki komposisi yang sangat berbeda. Kredit : NASA
Studi kelimpahan fotosferik bintang yang menjadi induk bagi planet merupakan kunci penting untuk memahami bagaimana protoplanet terbentuk dan awan protoplanet mana yang berevolusi menjadi planet dan mana yang tidak. Studi ini jelas memberi implikasi penting untuk model pembentukan planet raksasa dan evolusinya serta menjadi petunjuk untuk mengetahui struktur atmosfer dan internal planet dan komposisi planet ekstrasolar.
Studi teoretis menunjukkan kalau fraksi C/O dan Mg/Si merupakan elemen perbandingan penting untuk menentukan mineralogi planet kebumian karena dapat memeberikan informasi terkait komposisi planet tersebut. Perbandingan C/O mengontrol distribusi Si di antara karbit dan oksida, sementara Mg/Si menjadi sumber informasi bagi keberadaan mineral silikat.
Tahun 2010, J. Carter-Bond melakukan simulasi pembentukan planet dengan memasukkan  komposisi kimia awan protoplanet sebagai salah satu parameter. Hasilnya, planet kebumian ditemukan bisa terbentuk dalam semua simulasi yang dilakukan dengan komposisi kimia yang sangat bervariasi. Karena itu kemungkinan bahwa sbeuah planet kebumian terbentuk dengan komposisi yang sangat berbeda dengan Bumi sangat besar.
Di tahun yang sama, Elisa Delgado Mena juga melakukan studi kelimpahan C, O, Mg dan Si di 61 bintang yang memiliki planet dan 270 bintang yang tidak memiliki planet dari sampel HARPS GTO. Dalam penelitian tersebut ia dan timnya menemukan rasio mineralogi yang berbeda dari Matahari yang sekaligus menindikasikan variasi sistem keplanetan yang berbeda dari Tata Surya. Kebanyakan bintang induk bagi exoplanet memiliki Mg/Si kurang dari 1, sehingga planetnya akan memiliki Si yang tinggi untuk membentuk senyawa MgSiO3. Keberadaan komposisi MgSiO3 tersebut memiliki implikasi yang penting untuk proses internal planet seperti plat tektonik, komposisi atmosfer dan aktivitas vulkanik.
Planet serupa Bumi yang terbentuk di alam semesta diperkirakan bisa mencapai milyaran di alam semesta tapi sebagian besar planet-planet tersebut akan memiliki struktur atmosfer dan struktur internal yang berbeda satu sama lainnya. Pembentukan planet pada lingkungan kimiawi non-Matahari ( yang umum ada di alam semesta) akan mengarah pada terbentuknya planet yang “aneh”, yang sangat berbeda dari Bumi!.
Simulasi terbaru yang dilakukan memperlihatkan kemungkinan komposisi yang sangat bervariasi dari planet-planet kebumian yang terbentuk. Planet yang terbentuk pada bintang yang memiliki rasio Mg/Si kurang dari 1 akan mengalami ketiadaan Mg (dibanding Bumi), dan akan terdiri dari spesies silikat seperti pyroxene dan berbagai tipe feldspars ( KAlSi3O8 – NaAlSi3O8 – CaAl2Si2O8 ). Feldspars merupakan kumpulan batuan yang terbentuk dari mineral tektosilikat yang membentuk sekitar 60% kerak Bumi. Sementara untuk keplanetan dengan karbon yang melimpah juga menghasilkan planet yang memiliki tipe berbeda-beda berdasar rasio C/O bintang induknya. Kelimpahan yang diprediksi ini sesuai dengan hasil pengamatan katai putih yang mengalami polusi aka tercemar dimana seharusnya bintang katai putih tersebut sudah mengakresi planet bagian dalamnya saat berada di tahap raksasa merah.
Pengamatan pada vvariasi rasio C/O dan Mg/Si pada bintang induk yang diketahui memiliki sistem planet menunjukkan kalau komposisi yang beragam pada planet ekstrasolar kebumian memang ada. Rentang variasi itu dimulai dari planet yang relatif serupa dengan Bumi, planet yang didominasi oleh C seperti batuan grafit dan karbit (SiC, TiC).
Perbedaan rasio C/O dan Mg/Si pada bintang induk dapat memicu terbentuknya planet dengan komposisi yang sangat berbeda di sistem keplanetan. Kredit : NASA/ JPL-Caltech/ T. Pyle (SSC)
Hasil penelitian Elisa Delgado Mina di tahun 2010 digunakan dalam studi lanjut ini karena ia-lah yang pertama kali menentukan kelimpahan dari seluruh elemen yang dibutuhkan dari bintang yang memiliki sistem planet dan bintang yang tidak memiliki planet.
Senyawa kimia dan simulasi dinamik ini kemudian digabungkan dengan mengasumsikan kalau setiap emrio akan memiliki komposisi sesuai dengan lokasi pembentukannya dan kemudian mengkontribusi komposisi yang sama pada planet kebumian yang disimulasikan. Hasil yang didapat dari simulasi, planet kebumian paling dekat dengan bintang pada jarak ~0,5 SA akan memiliki jumlah yang signifikan dari elemen Al dan Ca (~47% dari massa sistem planet). Sementara planet yang terbentuk di luar 0,5 SA dari bintang induk akan memiliki komponen Al dan Ca yang semakin berkurang seiring bertambahnya jarak dari bintang induk.
Pada sistem keplanetan 55 Cnc, rasio C/O lebih dari 1 (C/O = 1,12). Sistem ini menghasilkan planet “serupa Bumi” yang kaya karbon.  Dan seluruh planet kebumian yang dihasilkan dalam simulasi ini didominasi oleh O, Fe, Mg dan Si dengan sebagian besar elemen tersebut berada dalam bentuk silikat atau logam ( dalam hal ini besi). Namun perbedaan penting dari planet-planet yang terbentuk pada sistem dengan C/O < 0,8 (HD17051, HD19994) dan sistem dengan C/O > 0.8 (55Cnc) telah ditemukan.
Para peneliti masih terus melakukan kalkulasi ulang agar kesalahan pengukuran dalam kelimpahan elemen bisa semakin kecil sehingga dapat menghasilkan pemodelan dan simulasi numerik yang dapat digunakan sebagai acuan. Dan untuk sampai pada titik akhir kesimpulan tentu masih sangat jauh.

Kisah penemuan Galaksi Bima Sakti (Bagian Pertama)


Bila kita memiliki kesempatan untuk pergi ke daerah yang jauh dari cahaya lampu perkotaan dan cuaca betul-betul cerah tanpa awan, kita akan dapat melihat selarik kabut yang membentang di langit. “Kabut” itu ikut bergerak sesuai dengan gerakan semu langit, terbit di timur dan terbenam di barat.
Selarik kabut di langit yang kita kenal dengan Bima Sakti atau "Jalur Susu'' bagi orang Yunani dan Romawi kuno. Kabut ini membentang melintasi seluruh bola langit, sebagaimana ditunjukkan oleh foto panorama Bima Sakti pada gambar bawah. Sumber: Atas: Jerry Lodriguss/Astropix.com. Bawah: Bruno Gilli/ESO.
Keberadaan kabut ini telah dijelaskan keberadaannya oleh berbagai peradaban semenjak lama. Di kalangan masyarakat Jawa kuno, pada musim kemarau kabut ini melewati zenith, membentang dari timur ke barat, menyerupai sepasang kaki yang mengangkangi Bumi. Kaki ini adalah milik Bima, anggota keluarga Pandawa yang diceritakan dalam pewayangan Mahabharata. Demikian besar tubuhnya dan betapa saktinya ia, sehingga kabut itu dinamakan Bima Sakti, sebuah nama yang hingga saat ini masih kita gunakan untuk menamai gumpalan kabut tersebut.
Asal muasal Bima Sakti dijelaskan dalam Mitologi Yunani. Ini adalah lukisan pelukis Italia Jacopo Tintoretto yang hidup pada masa renaisans, ``Asal muasal Bima Sakti.'' Sumber: Koleksi Galeri Nasional, London, Inggris Raya.
Nun jauh dari Jawa, di Yunani, masyarakat di sana memberikan nama lain untuk objek yang sama.Mitologi Yunani menceritakan kelahiran Herakles(dinamakan Hercules dalam mitologi Romawi), anak raja diraja para dewa—Zeus—denganAlcmene yang manusia biasa. Hera, istri Zeus yang pencemburu, menemukan Herakles dan menyusuinya. Herakles sang bayi setengah dewa menggigit puting Hera dengan kuatnya. Hera yang terkejut kesakitan melempar Herakles dan tumpahlah susu dari putingnya, berceceran di langit dan membentuk semacam jalur berkabut. Tumpahan susu ini kemudian dinamakan“Jalan Susu.” Demikianlah imajinasi orang-orang Yunani menamakan kabut tersebut, atau galaxias dalam Bahasa Yunani. Oleh orang-orang Romawi kuno, yang mitologinya kurang lebih sama dengan mitologi Yunani, galaxiasdiadaptasi menjadi Via Lactea atau “Jalan Susu” dalam Bahasa Latin. Dari sini pulalah kita memperoleh nama Milky Wayyang juga berarti “Jalan Susu” dalam Bahasa Inggris.
Hakikat kabut ini tidak banyak dibicarakan dalam kosmologi Aristotelian, dan Aristoteles sendiri menganggap kabut ini adalah fenomena atmosfer belaka yang muncul dari daerah sublunar. Namun, ketika Galileo mengembangkan teknologi teleskop dan mengarahkannya ke kabut “Jalan Susu,” ia melihat ratusan bintang. Di daerah “berkabut” terdapat konsentrasi bintang yang lebih padat daripada daerah yang tidak dilewati oleh pita “Jalan Susu.” Rupanya kabut ini tak lain adalah kumpulan dari cahaya bintang-bintang yang jauh dan kecerlangannya terlalu lemah untuk bisa ditilik oleh mata manusia, sehingga agregat dari pendaran cahaya mereka terlihat bagaikan semacam kabut atau awan.
Alam semesta yang dibayangkan Thomas Wright dari Durham.
Bagaimana menjelaskan Kabut “Jalan Susu” atau “Bima Sakti” dalam konteks susunan jagad raya? Seorang pembuat jam yang mempelajari astronomi secara mandiri, Thomas Wright dari Durham, menjelaskan gejala ini sebagai akibat dari posisi kita dalam sebuah kulit bola. Thomas Wright menuliskan ini pada tahun 1750 dalam bukunya An original theory or new hypothesis of the Universe, dan membuat ilustrasi pada gambar di samping. Bintang-bintang tersebar merata pada sebuah kulit bola. Andaikan Matahari kita terletak pada titik A, maka bila kita melihat ke arah B dan C kita akan melihat lebih sedikit bintang daripada bila kita melihat ke arah D dan E. Kabut “Jalan Susu” yang merupakan daerah di langit dengan konsentrasi bintang yang lebih tinggi inilah yang kita lihat sebagai arah D dan E.
Sebagai alternatif, Thomas Wright juga memodelkan bintang-bintang yang terdistribusi menyerupai cincin pipih, dan ini juga dapat menjelaskan keberadaan kabut “Jalan Susu.” Bila Matahari terletak di permukaan cincin ini, kita akan melihat lebih banyak bintang bila melihat ke arah permukaan cincin, namun tidak akan banyak bintang yang dapat kita amati bila kita melihat ke arah yang tegak lurus permukaan cincin.
Filsuf Jerman Immanuel Kant mengatakan bahwa "Nebula'' Andromeda adalah sistem bintang yang mandiri dan menyerupai sistem Bima Sakti. Sumber: APOD.
Filsuf Jerman Immanuel Kant kemudian membaca buku Thomas Wright dan kemudian memodifikasi ide Wright dan mengatakan bahwa bintang-bintang terdistribusi membentuk cakram pipih. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa cakram pipih ini merupakan sebuah sistem gravitasi yang mandiri dan di luar sistem ini juga terdapat sistem-sistem lain yang berbentuk serupa. Lebih lanjut Kant berspekulasi bahwa objek-objek menyerupai awan—disebut juga nebula, dari Bahasa Yunani yang berarti “awan”—yang beberapa di antaranya diamati oleh astronom Charles Messieradalah sistem bintang mandiri yang lokasinya jauh dari sistem bintang “Jalur Susu” tempat Matahari kita berada.
Baik ide Thomas Wright maupun Immanuel Kant merupakan spekulasi belaka di hadapan kurangnya data mengenai distribusi bintang-bintang di sekitar Matahari kita. Usaha serius untuk memetakan bintang-bintang di sekitar Matahari kita dilakukan kemudian oleh seorang pemusik Jerman yang menjadi pengungsi di Inggris: Friedrich Wilhelm Herschel yang kemudian dikenal dengan nama Inggrisnya yaitu William Herschel.
Astronom Jerman-Inggris William Herschel adalah pengamat astronomi terhebat pada zamannya. Tidak hanya ia bekerja memetakan bintang-bintang di sekitar Matahari, tetapi ia juga menemukan Planet Uranus. Sumber: Koleksi Galeri Potret Nasional, London, Inggris Raya.
Herschel memulai penggunaan statistik dalam astronomi dengan mempraktikkan cacah bintang. Yang dilakukan Herschel adalah menyapu seluruh daerah langit secara sistematis dengan teleskopnya dan menghitung jumlah bintang yang dapat ia lihat di dalam daerah pandang teleskopnya. Dengan cara ini ia dapat memetakan kerapatan bintang ke segala arah dari Matahari. Herschel juga mengambil asumsi penting yaitu mengandaikan kecerlangan intrinsik semua bintang besarnya sama dengan kecerlangan Matahari, sehingga dengan mengukur kecerlangan semu setiap bintang, ia dapat mengetahui jarak setiap bintang dari Matahari. Pengandaian ini tentu saja tidak tepat karena banyak bintang yang secara intrinsik jauh lebih terang maupun lebih redup daripada Matahari kita, namun Herschel berharap bahwa Matahari adalah bintang yang jamak ditemukan di alam semesta dan oleh karena itu dapat menjadi cuplikan yang mewakili seluruh bintang. Dengan cara ini ia berhasil membuat peta sistem bintang “Jalur Susu.” Pada masa ini teori gravitasi Newton sudah diterima sebagai sebuah realitas dan digunakan untuk menjelaskan kekuatan yang dapat menjelaskan keterikatan satu sama lain Matahari dan bintang-bintang di sekitarnya membentuk sistem bintang. Dengan dua kenyataan ini, teori gravitasi Newton dan cacah bintang Herschel, orang menyadari bahwa Matahari adalah bagian sistem bintang-bintang yang terikat secara gravitasi, dan “kabut” Jalur Susu adalah akibat dari posisi kita di dalam sistem ini. “Galaksi” kemudian menjadi nama bagi sistem bintang-bintang ini, dan nama Galaksi kita adalah Milky Way atau orang Indonesia menyebutnya Bima Sakti. Nama yang berasal dari narasi mitologis boleh tetap sama, namun paradigma “Jalur Susu” telah berubah.
Penampang silang Galaksi Bima Sakti berdasarkan hasil cacah bintang William Herschel. Lokasi matahari terletak agak dekat ke pusat, dan Galaksi ini bentuknya agak lonjong. Sumber: Hoskins, M. editor, Cambridge Illustrated History of Astronomy, Cambridge Univ. Press, 1997.
Atas: Pandangan ke arah Pusat Galaksi kita. Kiri bawah: Galaksi Pusaran atau Messier 51, salah satu galaksi dekat tetangga Galaksi Bima Sakti. Kanan bawah: Nebula Rajawali atau Messier 16 di arah Rasi Waluku. Sumber: Digital Sky/HST/ESO.
Memasuki abad ke-20, ukuran Galaksi Bima Sakti (gambar di samping, panel atas) dan lokasi persis Matahari kita di dalamnya belum diketahui dengan pasti. Teka-teki kedua yang tidak kalah pentingnya adalah hakikat dari nebula-nebula yang banyak ditemukan di sekitar Matahari: Apakah mereka adalah sistem-sistem bintang yang setara dengan Galaksi Bima Sakti namun mandiri, ataukah mereka adalah bagian dari sistem Bima Sakti? Tanpa mengetahui informasi akurat mengenai jarak nebula-nebula ini, siapapun bebas berspekulasi. Nebula yang banyak diamati pada masa itu adalah nebula Andromeda dan nebula-nebula lainnya yang berbentuk spiral (gambar di samping, panel kiri bawah) maupun nebula-nebula lainnya yang bentuknya tak beraturan (gambar di samping, panel kanan bawah). Dilihat dengan teleskop pada akhir abad-19, kedua objek ini terlihat sama saja dan tidak bisa dibedakan mana yang lebih dekat ataupun lebih jauh jaraknya dari Matahari.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, menurut Immanuel Kant, objek-objek ini letaknya sangat jauh, berada di luar Galaksi Bima Sakti, dan merupakan sistem bintang yang menyerupai Bima Sakti namun independen, Mereka adalah “pulau-pulau kosmik.” Bagi astronom Harlow Shapley, nebula-nebula tersebut jaraknya relatif dekat dan merupakan bagian dari Galaksi Bima Sakti.
Harlow Shapley adalah orang yang berjasa mengukur dimensi Galaksi kita. Dengan menggunakan bintang jenis tertentu, ia dapat mengukur jarak yang sangat jauh dari Matahari kita, mencapai ribuan tahun cahaya.
Pada tahun 1920, diadakan debat terbuka antara Harlow Shapley dengan astronom Heber Curtis yang mengusung pendapat bahwa nebula-nebula tersebut adalah sistem yang independen. Dalam debat yang di kemudian hari dinamakan sebagai Debat Akbar (The Great Debate) ini, kedua pembicara memaparkan data pengamatan astronomi yang mendukung hipotesis mereka, akan tetapi debat ini tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti mengenai skala Galaksi dan alam semesta kita.
(Bersambung)
Tags: 
sumber:http://langitselatan.com